Bali memang menjadi
salah satu tujuan wisata favorit bagi banyak turis dari banyak kalangan dan
negara asal. Keeksotisan Bali dan kekayaan budayanya menjadi daya tarik utama
bagi turis, menjadi alasan mereka untuk sekedar menghabiskan akhir pekan
berselancar di Kuta, menjelajahi pasar-pasar tradisional untuk berbelanja atau
menonton tari kecak menjelang matahari terbenam.
Tapi, tidak banyak yang
tahu bahwa Bali juga menjadi tempat favorit bagi penikmat buku dari seluruh
dunia. Sejak kemunculannya di tahun 2003, Ubud Writers and Readers Festival
atau kerap disingkat menjadi UWRF telah menjadi salah satu festival literatur
di kalangan pembaca buku internasional. Penikmat buku dari berbagai negara
seperti Cina, Jepang, Amerika, Inggris, Australia sampai Mesir rela merogoh
kocek untuk membeli tiket pesawat dan terbang ke Bali untuk berpartisipasi
dalam festival ini.
UWRF adalah suatu
festival internasional yang digagas oleh Janet
de Neefe, seorang penulis dan pengusaha restoran asal Australia yang
telah tinggal selama 27 tahun di Bali. Sebagai seorang pengusaha, Janet melihat
bagaimana bobroknya sektor industri dan pariwisata di Bali setelah bom Bali 12
Oktober 2002 lalu. “Tidak ada turis yang berniat pergi ke Bali setelah bom
pertama. Ubud terasa kosong melompong,” ungkapnya.
Kecintaannya terhadap
Bali dan tentu saja buku, telah menginspirasinya untuk mengumpulkan penulis dan
pembaca dari banyak negara untuk menarik lagi minat wisatawan mancanegara
kepada Bali. Ciri khas Bali sebagai surga bagi kesenian dianggapnya sebagai suatu
keuntungan. Akhirnya, sejak tahun 2003, tanggal 3-7 Oktober telah menjadi lima
hari yang ditunggu-tunggu oleh ribuan penikmat buku.
Tanpa diduga, sejak
kemunculannya UWRF kerap menuai sukses. Ratusan penulis muda, penulis best-seller sampai penulis pemenang
Pulitzer telah mendatangi UWRF. Partisipan festival ini yang awalnya didominasi
oleh turis asing berumur 40-60 tahun pun mulai bervariasi. Banyak pelajar
Indonesia yang menjadi pengunjung acara ini. Malah, banyak pengunjung yang
awalnya hanya menjadi partisipan pasif, lama kelamaan menjadi relawan dan akhirnya
tertantang untuk menjadi penulis.
Yang menjadi daya tarik
dari UWRF ini adalah diskusi aktif yang melibatkan penulis dan pembaca. Penulis
bisa menceritakan bagaimana proses kreatif dari pembuatan buku mereka, alasan
mereka menulis buku tersebut hingga apa yang menurut mereka menjadi daya tarik
utama buku tersebut. Sebaliknya, pembaca juga bisa menanyakan berbagai macam
hal, baik yang berkaitan dengan buku-buku tersebut maupun yang tidak. Selain
itu, UWRF menawarkan berbagai workshop-workshop
penulisan dan kesenian, sebagai
ajang anak muda maupun orang dewasa yang ingin berkarya untuk berkumpul dan
belajar.
Tahun ini, UWRF membawa
nama seorang penulis yang bisa dibilang sebagai penulis yang tulisannya sangat
bersejarah di Indonesia, yaitu Pramoedya Ananta Toer. Menjadikan judul salah
satu dari karyanya yaitu “Bumi Manusia” sebagai tema acaranya, UWRF tahun ini
menuai sukses. Berbagai penulis berbondong-bondong membuka panel-panel diskusi
untuk karya-karya mendiang Pram, membagikan pengalaman mereka yang dekat dengan
Pram maupun yang hanya pernah bercengkrama dengan Pram barang 5 menit. Tak
hanya itu, banyak pula penulis internasional yang berdiskusi mengenai masa
depan literatur Indonesia, masa depan Bali khususnya sebagai tempat pariwisata,
dan berbagai topik lain yang berhubungan dengan Indonesia dan literatur. Berbagai
relawan juga membuka acara kegiatan untuk anak-anak dan kaum muda untuk
mengenalkan budaya membaca bagi mereka.
Salah satu penulis favorit saya yang menjadi panelis adalah (jengjengjeng) Jeffrey Eugenides. Ya, Jeffrey Eugenides yang ITU. Yang menang Pulitzer itu. Wajar dong kalau saya kalap dan mengupayakan apa saja supaya saya bisa menghadiri panelnya.
Dan memang, panelnya sama sekali tidak mengecewakan. Di panelnya Jeffrey menceritakan proses penulisan karya-karyanya, bagaimana dia melakukan riset terperinci ketika mengembangkan ide dan bagaimana dia berusaha semaksimal mungkin untuk membuat "suara" dari karakter-karakternya senyata mungkin. Tak mengherankan karena memang, menurut saya karakter-karakter dalam bukunya terasa sangat nyata, meskipun kisahnya belum tentu terasa nyata buat saya. Tak hanya itu, Jeffrey juga bercerita bagaimana was-wasnya ia ketika menulis bagian-bagian yang vulgar di bukunya, karena takut anak perempuannya akan membacanya suatu hari, atau yang lebih parah lagi, Ibundanya.*ketawa guling-guling* Ketika si master of ceremony bertanya pada Jeffrey apakah dia ragu-ragu untuk menulis buku menulis buku setelah ia menang Pulitzer karena takut bahwa kelak, bukunya tak akan sama bagusnya dengan Middlesex, Jeffrey menjawab dengan enteng, "Tidak. Bagi saya, Pulitzer itu cuma hadiah. Dan saya bangga dan senang dengan itu. Tetapi hadiah tidak sepatutnya mengubah pekerjaan atau tulisanmu." *tepuk tangan*
Jeffrey juga dengan rendah hati menjelaskan proses menulisnya. Katanya, "You can't write a book without reading another books and being influenced with another writers." Dia mengatakan bahwa buku favortinya adalah Anna Karenina, The Potrait of A Lady, dan buku-buku karangan Alice Munro. "People always tell you to be influenced. Your influence should be telling something about your talent, rather than being embarrassed with it. You have to have a connection to your life to be able to imagine something," lanjutnya. Selain itu, dia juga bercerita bahwa metodenya dalam menulis adalah memikirkan apa ceritanya, bagaimana cerita itu kira-kira berkembang, tapi kadang dia harus merombak ceritanya berkali-kali jika menurutnya cerita itu "predictable and unsatisfying". Satu hal yang selalu dia ingat ketika menulis adalah, "we have to forget that people would actually read it". XD
Di penghujung acara, Jeffrey bercerita bahwa saat ini dia sedang menyiapkan sebuah buku kumpulan cerita dan naskah untuk adaptasi novel Marriage Plot (yang bukunya telah saya baca tahun ini). Wah, tak sabar jadnya. Semangat ya Om Jeffrey! *bawa pom-pom*
Tak lupa, saya meminta Jeffrey untuk menandatangani setumpuk buku-buku saya, dan *uhuk* foto bareng *uhuk* :))
Ada satu hal yang unik tentang tanda tangan Jeffrey Eugenides. Lihat bagaimana beliau mencoret namanya di buku saya? Katanya itu tradisi Yunani :) |
I smell jealousy fumes from you guys :} |
Saya sangat puas dengan
UWRF tahun ini. Menurut saya, UWRF tahun ini lebih berkembang dari tahun lalu,
mengingat topik yang dibawa para panelis sangat condong ke arah humanisme di
Indonesia, tidak sekedar tentang buku atau hura-hura. Saya sangat berharap UWRF
tahun depan bisa lebih baik lagi, karena festival ini akan mengangkat tema
perempuan dan feminism, mengambil salah satu judul tulisan R.A Kartini sebagai
temanya, yaitu “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Siapa tahu, saya bisa bertemu satu dari kalian tahun depan? :)
UWRF tahun depan bulan berapa ya? seandainya bisa sekalian Kopdar Akbar BBI ya... hihi
ReplyDeleteBulan Oktober, Kak Desty. Ayo kopdar akbar :D
Deleteaaa aku mauuu. UWRF masih jadi wishlist aku. Lumayan juga siy akomodasinya kesana. *nabung..nabung..*
ReplyDeleteYuk kak nabung, biar bisa ketemu tahun ini :)
DeleteHuah KEREN! Mengamini mbak Desty deh, mudah-mudahan di UWRF tahun depan bisa sekalian jadi Kopdar akbar BBI :)
ReplyDeleteAmiiiiiin :D
Deletehuhuhu.. aku iri padamu, Dek... mari nabung untuk Kopdar Akbar BBI di UWRF
ReplyDeleteAyo kak, biar bisa ketemuan lagi :D
Deletewah keren banget bisa ketemu penulis idolanya, jadi pengen :D
ReplyDeletesemoga di UWRF tahun ini ada penulis idola Kak Sulis ya :)
DeleteHuhuhu...terharu bisa berfoto bersama penulis idola..
ReplyDeleteyuk baca Bumi Manusia :)
Udah baca Kak, reviewnya juga udah diposting :p /promosi
Delete