Sunday, December 11, 2011

Winter Dreams - Maggie Tiojakin

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Desember 2011
ISBN9792278125 (ISBN13: 9789792278125)

“Baru kusadari bahwa aku tidak datang membawa mimpi ataupun aspirasi. Aku tidak ingin jadi apa-apa. Aku cukup puas berbaring terlentang di atas ranjang sambil menatap langit-langit kosong. Aku seperti pelampung yang mengapung di atas permukaan laut luas dan terkatung-katung tanpa arah; menelan perguliran hari dan malam tanpa henti seolah aku abadi.”

Nicky F. Rompa adalah seseorang yang mungkin kita kenal dalam kehidupan sehari-hari; lelaki biasa yang hidupnya lurus-lurus saja, tanpa punya keinginan dan harapan akan masa depan. Karena ingin kabur dari ayahnya yang kasar, ketika kesempatan untuk pindah ke Amerika datang, dia ambil dengan harapan bahwa dia bisa menemukan aspirasi dan keinginannya di sana. Meninggalkan Ibu dan Shanaz, adiknya, dan Reno, sahabatnya.
Di Amerika, Nicky tinggal bersama keluarga tantenya, Tante Riesma. Sebagai pendatang di sebuah negeri yang asing dan megah, di mana jutaan orang dari seluruh dunia menggantungkan mimpi, Nicky perlahan-lahan beradaptasi dan bertahan. Nicky bertemu dengan orang-orang yang luar biasa menarik dan berasal dari latar belakang yang menunjukan betapa multikurturalnya Amerika. Yang pertama adalah Mr. & Mrs. Wong, imigran asal Vietnam pemilik toko serba ada di mana Nicky pertama kali bekerja. Leah sepupunya dan pacarnya, Richard Klaus. Polina, gadis Rusia bermata hijau yang tidak bisa Nicky lupakan dari awal bertemu. Dev Akhtar, pemuda Pakistan yang berpacaran dengan Natalie Black, seorang gadis Yahudi. Artin Rucci, guru menulis Nicky yang meyakinkan Nicky bahwa dia bisa menjadi penulis hebat kalau dia tekun. Esmeralda de Luca Garcia – Esme – kekasih Nicky yang berasal dari Meksiko.

Winter Dreams adalah buku berisi 287 halaman tentang perjalanan hidup seseorang di negeri orang, yang mungkin terlihat simpel dan membosankan karena tidak ada plot maupun konflik yang menggebu-gebu. Nicky menjalankan hidupnya sebagaimana sebagian besar dari kita menjalani hidup; berteman dengan orang-orang lalu kehilangan kontak dengan mereka, pacaran lalu putus, bersenang-senang, mencoba sesuatu yang baru dan berbahaya, berhenti dari satu pekerjaan untuk bekerja di tempat lain, jatuh cinta dengan pasangan sahabat sendiri, lalu patah hati. Tidak mengerti dengan masa lalu dan masa depan seolah-olah semua itu ilusi. Menjalani hari ini tanpa sesuatu yang berarti. Segala kebosanan ini terdengar familiar dengan kita, bukan? Karena begitulah hidup. Kadang kalau kita beruntung, kita tumbuh menjadi seseorang yang penuh semangat, memiliki keseharian yang luar biasa menarik dengan pengalaman-pengalaman yang bisa membuat banyak orang lain iri. Tapi sering kali, kita tidak seberuntung itu. Kita cuma tokoh anti-hero yang kalau kisah hidupnya dibukukan, mungkin hanya akan muat sampai 50, 75 halaman. Di buku ini Maggie tidak berusaha untuk mencekoki kita dengan ilusi, fantasi tentang mimpi-mimpi muluk, tapi dia hanya ingin menunjukan bahwa ketika muda, merasa bingung itu wajar. Tidak punya harapan, juga wajar. Dan ketika punya harapan tapi tidak kesampaian, ya apa boleh buat. Kita cuma punya dua pilihan: duduk dan menghabiskan sepanjang masa muda dan masa depan kita berfikir bahwa kita bisa merubah hidup, atau bangkit dan benar-benar membuat perubahan. Bahwa “Life has a strange sense of humor and sometimes God makes up for it by working in mysterious ways,” dan “Waktu berlalu. Banyak hal yang akan berubah. Hidup akan terus bergulir seperti mimpi.”

Dengan prosa yang memukau, detil yang kaya, dan karakter yang warna-warni, Maggie berhasil membungkus kisah Nicky menjadi sesuatu yang mengikat kita dalam pertanyaan-pertanyaan yang membuat kita berpikir dan merefleksikan diri, apakah selama ini kita sudah cukup bermimpi? Apakah kita sudah cukup mengenal diri kita?



4/5 bintang.

Friday, November 18, 2011

Buatku Surga Itu...

Buatmu, surga duniawi mungkin terasa seperti makan makanan terenak di dunia, belanja di seluruh penjuru mal tanpa takut kantong jebol, menghabiskan akhir pekan di tempat terindah di dunia, atau sekedar berada di samping orang yang kaukasihi. Tapi buatku, setiap kali memasuki ruangan yang dipenuhi buku, aku seperti menjejakkan kaki di surga.
Setiap aku melangkah, bukan malaikat yang menyambutku dengan nyanyian, tapi setiap pengarang yang aku kagumi mati-matian karyanya; bergandengan tangan dengan tokoh-tokoh yang mereka ciptakan. Ketika aku mengambil sebuah buku, mereka duduk di sampingku, menyuarakan cerita yang kubaca, membawa kisah mereka hidup di depan mataku.

Aku bukan orang munafik; aku tak akan mungkin bisa menolak wangi makanan terenak di dunia, semangkok bakso dengan bawang goreng renyah dan bersendok-sendok sambal, misalnya. Atau menenteng bertumpuk-tumpuk kantong belanjaan berisi baju cantik. Atau menghirup udara segar sambil bersepeda di yang New Zealand yang berbukit-bukit hijau, bersisian dengan seseorang yang mampu membuatku tertawa geli ketika air mata sudah sampai di pelupuk mata. Tapi ketika semua hal yang kusebutkan tadi tidak mampu mengobati birunya hati, ketika aku berdiri di depan buku-bukuku yang berbaris rapi, aku tak merasa sendiri. Aku bisa menghambur ke pelukan Hermione, minum teh bersama Jane Austen, membaca di samping Charlie, mengumpat bersahut-sahutan dengan Holden Caulfield, jatuh cinta dengan Bella Swan. Aku bisa memasuki petualangan tak terduga, merasakan hal-hal yang belum pernah kurasakan. Dengan menghirup wangi kertas dan membaca rentetan kata yang cantik, aku merasa seperti di surga. Di surga yang hangat seperti rumah.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini dibuat sebagai wujud partisipasi dalam http://surgabukuku.wordpress.com 1st Birthday Giveaway.

Monday, October 31, 2011

Anna and the French Kiss

“I love you as certain dark things are loved, secretly, between the shadow and the soul.” - Anna and the French Kiss


 Jujur saja, ketika teman-teman dari BBI sepakat untuk membaca satu buku romance bersama di bulan ini, saya kelimpungan. Saya tidak punya buku romance yang belum terbaca! Setelah mengubek-ngubek rak buku selama beberapa menit, mata saya menangkap satu judul buku.
"Anna and the French Kiss". Judul ini saat itu seolah dikelilingi lampu-lampu kecil yang bersinar-sinar, seperti tulisan di sebuah pementasan kabaret. *lebay*
Kaver bukunya yang menampilkan seorang model perempuan yang sedang tersenyum manis, hendak meraih tangan seorang pria di sebelahnya yang wajahnya tak nampak, dengan tampilan separuh menara Eiffel sebagai background dan judul yang provokatif membuat saya yakin bahwa ini akan menjadi satu bacaan yang manis. Terlebih lagi, ada banyak sekali review positif dari buku ini yang bertebaran di Goodreads atau blog-blog buku.

Lima sampai sepuluh halaman pertama, saya masih belum mengerti mengapa buku ini mendapat perhatian sedemikian rupa. Plotnya sangat sederhana, tipikal malah:
Anna Oliphant "dikirim" oleh ayahnya ke Paris untuk melanjutkan tahun terakhir SMA-nya di sana; padahal dia sudah punya segudang rencana untuk menghabiskan tahun ini di Atlanta bersama sahabatnya, Bridge, dan pacarnya Toph. Dia sama sekali tidak tertarik akan Paris dan segala keromantisannya, malahan dia takut akan merasa kesepian, kangen rumah, dan tidak punya teman di sana. Dengan segala kekhawatirannya, dia berangkat ke Prancis, tanpa tahu satupun kata dalam Prancis - kecuali Merci - sambil membawa kekesalan besar pada ayahnya.

Tapi segalanya berubah saat dia akhirnya masuk ke SOAP (School of America in Paris) yang didaftarkan Ayahnya, sekolah elit yang dipenuhi beraneka ragam orang di sana. Tak disangka dia dengan mudah berteman dengan Meredith, Rashmi, Josh dan Ettiene St.Clair, cowok Inggris tampan yang diidolakan banyak cewek di sekolahnya.


Akhirnya bisa ditebak, bukan? Anna naksir St.Clair, St.Clair naksir Anna, lalu mereka berciuman di bawah Menara Eiffel. The end.


Plotnya, meskipun simpel, tetap saja tidak sesimpel tulisan asal saya di atas. Meski kisah mereka memang  happy ending - cover semanis ini kalau ceritanya tidak happy ending rasanya keterlaluan - tapi tetap saja, penuh liku. Tapi yang menjadi poin plus buku ini, dan memang inilah alasan mengapa banyak orang menyukainya, adalah: cerita dan karakternya begitu realistis. Tidak ada perpisahan dramatis, atau kematian yang mengharu biru. Semuanya berjalan dengan smooth dan santai, tapi Stephanie dengan apik meramu cerita yang terdengar klise menjadi sesuatu yang tidak membosankan. Tidak ada ledakan emosi yang meluap-luap atau sub-plot yang berlebihan. Rasanya seperti mendengar curhatan teman yang lama tidak dijumpai. Rasanya nyata. 


Karakter-karakternya juga menyenangkan. Tidak seperti karakter novel yang melewati banyak hal seru sampai-sampai kita ingin sekali menjadi temannya di dunia nyata, tapi lebih seperti teman yang ceritanya dibukukan lalu kita baca. Dari semua karakter, tentu saja karakter favorit saya Etienne St.Clair. Perlu tanya lagi yah? Dia pintar, sayang banget sama Mamanya, dan dia BRITISH. Need I say more?


Dan satu lagi aspek penting dari buku ini yang tak boleh ketinggalan dibahas: romance. Sebagai orang yang tidak terlalu suka buku romance, saya sangat puas dengan kadar romance di buku ini. Pas! Tidak lebih, tidak kurang. Sangat realistis, menurut saya. Saya paling suka bagian saling berbalas e-mail di buku ini. Manis sekali :)


All in all, buku ini cocok untuk dibaca ketika sedang suntuk dan ingin membaca buku ringan dan cepat habis, setelah lama membaca buku-buku yang topiknya bikin puyeng, ditemani segelas minuman hangat dan cuaca yang gloomy, supaya bisa semangat lagi!


4/5 stars.

Sunday, October 30, 2011

Hans Christian Andersen, Penulis Dongeng Abadi

Hans Christian Andersen adalah salah satu dari sekian banyak pengarang cerita anak-anak yang masih sering dibicarakan hingga hari ini. Berbagai karangannya sudah bisa dinikmati dalam banyak versi, mulai dari film, kartun, maupun drama panggung. Beberapa kisah Andersen yang tidak asing di telinga kita yakni Thumbelina, Putri Duyung, Gadis Penjual Korek Api, hingga Si Itik Buruk Rupa. Bila ditanya siapa pengarang favorit saya waktu kecil, jawabannya mudah: Hans Christian Andersen. Saya membaca dongeng-dongengnya ketika saya baru masuk SD, bahkan bisa dibilang saya mengoleksi semua buku dongengnya yang diterbitkan Gramedia. Sayang, buku-buku itu sudah rusak karena banjir di rumah saya beberapa tahun yang lalu.


Saya begitu menyukai dongeng-dongengnya karena mereka sangat berbeda dari dongeng-dongeng pada umumnya, yang biasanya berkisah tentang tokoh-tokoh cantik, atau yang hidupnya berakhir bahagia. Cerita-cerita yang ditulis Hans Christian Andersen malah sebaliknya, bernuansa gelap, kelam, magis. Kisah Gadis Penjual Korek Api adalah kisah favorit saya hingga kini.


Kisah-kisah kelam yang dituangkan Andersen sedikit banyak diimbaskan dari masa kecilnya yang menyedihkan. Dibesarkan dari keluarga miskin, sejak belia Andersen diharuskan untuk menjadi buruh kasar untuk menambah penghasilan keluarga. Bahkan, dari kecil hingga dewasa, Andersen tidak pernah memiliki rumah - sepanjang hidupnya, ia hidup di rumah para tokoh masyarakat yang kaya raya, atau tinggal di kamar sewaan dengan perabot minim. Sejak dirinya menjadi penulis, banyak pengagum karyanya yang memperbolehkan Andersen tinggal beberapa lama di rumahnya.


Karena bekerja itulah, Andersen tidak mendapat pendidikan yang seharusnya. Dari hasil keberuntungan dia seuatu ketika bertemu dengan Raja Denmark Frederik VI yang tertarik dengan penampilannya dan lalu membiayai dia sekolah bahasa. Dia terlambat beberapa tahun sebelum akhirnya mulai bersekolah, dan ini membuat dirinya rendah diri di antara anak-anak yang jauh lebih muda darinya, belum lagi penyakit disleksia yang dia idap membuatnya jadi korban olok-olok. Menurutnya, kurun waktu sekolah adalah masa-masa paling kelam dan menyakitkan dalam hidupnya. Setelah beberapa tahun, akhirnya Andersen lulus dari sekolah bahasa. Dia lantas melanjutkan studinya di Universitas Kopenhagen, dengan dibiayai oleh seorang pemilik teater bernama Jonas Collin. Di tahun-tahun kuliahnya ini, dia mulai menulis beberapa cerita dan puisi. Andersen juga menulis drama musik anak-anak yang lantas dipentaskan di teater milik Jonas Collin.


Sampai di akhir hidupnya, Andersen tidak pernah menikah. Mirip seperti kisah Putri Duyung yang ditulisnya, dia sempat jatuh cinta pada seorang gadis namun bertepuk sebelah tangan. Dia meninggal tahun 1874 setelah digerogoti berbagai penyakit selama sekian tahun.


Every man’s life is a fairy tale, written by God’s fingers, begitulah kutipan perkataannya yang terkenal hingga saat ini. Dengan menulis, dia bisa menciptakan suatu kehidupan baru, yang dia tulis sedemikian rupa hingga menjadi indah. Dia bisa menuangkan luapan kepahitan dan kesedihannya. Karya-karyanya yang sarat akan kenyataan hidup dan tidak mengumbar "keindahan palsu" mencerminkan ketulusan perasaannya. Dan hal  inilah yang meninggalkan bekas di hati para pembacanya, memberikan makna pada kehidupan banyak orang di dunia. Kisah-kisahnya tak pernah lekang oleh waktu. 

Saturday, October 22, 2011

Paper Towns - John Green

When I finished reading Looking For Alaska, I eventually thought that I finally found the perfect kind of characters that I would dyingly (it doesn't even a word) see alive. 
After reading Paper Towns, I thought to myself, "MAN, I WAS WRONG! Paper Towns is definitely the best book of John Green that I've ever read!!" 
Not that I've read all of his books, actually. 

The plot evolves around Quentin or more likely to be called Q, who has fallen in love with his neighbor Margo ever since he was a kid. One day they found a dead body at a park near their houses, and that discovery impacts differently on both of them. Q only thought that it was nothing to be seriously thinking about, but Margo eventually wonders how fragile life is as she grows up. Margo has never been the same. 

"Margo always loved mysteries. And in everything that came afterward, I could never stop thinking that maybe she loved mysteries so much that she became one." 
Even though Q has known Margo for years, he still can not understand her. 
She has become a mystery. A paper girl. A Margo persona that Margo only wants to project. Margo is a popular girl next door (literally) and Q is just a geek.. Then one night Margo shows up at Q's window, looking for help to lead a wondrous night full of rebel, revenge--Margo as the ninja with blue spray paint, catfish and Veet, with Q as his sidekick. 
Q totally thinks that his time finally comes. He can start to understand her. He can show her that he is not a loser kinda geek that people may think.. But then she disappears. No, not just for hours or 2 days or 3 days. For weeks. 

Q has all kinds of speculation. What if she ends up in a damp in the middle of nowhere? What if she was kidnapped? Or worse, what if she kills herself, and her body is nowhere to be found? 
But Q believes that Margo left some clues to him. And it's his job to find her. 

Paper Towns is not an ordinary young adult book. It is full of geekyness and depths and metaphors and quirky people and jokes and sadness and depression. And I really love this book because of that. I actually could read the book within a day but no, I didn't do it because I didn't want this book to end. 
What I liked about this book is its characters. Margo is a depressed young girl who is too fed up with all the hypocrisy of people around her. Margo leads on this night of revenge with Q because her boyfriend cheats on her and she thinks her friends around her already know that fact--but still betray her. She is fed up with the whatnots on the future,and all about it is just a repetition; she will graduate high school, she will have a job, she will get married, have babies, have grandchildren, and she will die. She wants to live freely without wanting to know what's gonna happen tomorrow. 
Q is the exact opposite of Margo. He is smart, everything about his future is no longer a stressful thing to think about. But he doesn't have the nerve to live in spontaneity and he wonders why is that. 
Radar is a genius and reliable, whose parents owns the biggest collection of Black Santas in the world. Ben is a typical funny guy and everything that comes out of his mouth makes me laugh. Lacey is.. a girl. 

The last thing I loved from this book: 
“Maybe its like you said before, all of us being cracked open. Like each of us starts out as a watertight vessel. And then things happen - these people leave us, or don’t love us, or don’t get us, or we don’t get them, and we lose and fail and hurt one another. And the vessel starts to crack in places. And I mean, yeah once the vessel cracks open, the end becomes inevitable. Once it starts to rain inside the Osprey, it will never be remodeled. But there is all this time between when the cracks start to open up and when we finally fall apart. And its only that time that we see one another, because we see out of ourselves through our cracks and into others through theirs. When did we see each other face to face? Not until you saw into my cracks and I saw into yours. Before that we were just looking at ideas of each other, like looking at your window shade, but never seeing inside. But once the vessel cracks, the light can get in. The light can get out.”

Still Alice - Lisa Genova

Pernah dengar tentang penyakit Alzheimer's? 
Kalau pernah nonton film Korea berjudul A Moment To Remember yang dibintangi Son Ye Jin dan Jung Woo Sung - atau film The Notebook yang dibintangi Ryan Gosling dan diangkat dari buku karya Nicholas Sparks berjudul sama, mungkin Alzheimer's Disease bukanlah satu nama yang asing di telinga. 

Alzheimer's Disease adalah suatu kondisi di mana sel-sel otak yang menyimpan memori - baik memori lama maupun baru - sudah tidak berfungsi dengan baik. Banyak orang yang salah kaprah mengira Alzheimer's sama saja dengan pikun, padahal tidak begitu. 

Bayangkan; kamu seorang profesor yang hebat di Harvard, baru berumur 50 tahun, memiliki tiga anak yang sudah dewasa dan suami yang sukses. Seharusnya saat ini kamu sedang menikmati bagaimana enaknya kerja sebelum pensiun, menunggu rasanya menimang cucu. Inilah waktumu menikmati hidup. 

Alice Howland adalah seorang profesor sukses di bidang Psikologi di Harvard berusia 50 tahun. Kehebatannya sebagai dosen sudah tidak usah ditanyakan lagi - selain sering diundang menjadi dosen tamu di seluruh dunia, dia juga menjadi dosen favorit di Harvard. Mengajar tentang psikologi kognitif atau psikolinguistik? Dia bisa menyiapkannya hanya dalam waktu 5 menit, dengan otaknya yang luar biasa cerdas. 

Ketika awalnya dia tidak bisa mencari padanan kata yang tepat ketika mengajar, dia mengira ini dampak dari menopause. Ketika BlackBerry-nya tertinggal di sebuah restoran, dia merasa ini masih wajar. Tapi saat suatu kali dia tidak bisa mencari jalan pulang ketika sedang jogging, atau waktu dia benar-benar lupa bahwa dirinya harus mengajar di Chicago, dia mulai bertanya pada dirinya sendiri. Ada apa denganku? 

Dunianya terasa jungkir balik saat diagnosa dokter datang. Alzheimer's. Dia masih akan lebih bersyukur bila dia terkena tumor otak - setidaknya ada satu hal yang bisa dia perjuangkan, satu monster yang akan dengan sekuat tenaga berusaha dia kalahkan. Ada secercah harapan bahwa suatu saat dia akan menang. Namun Alzheimer's? Ini jenis penyakit yang akan terus dia bawa seumur hidup. Dia hanya bisa terus menerus minum obat, tak punya kendali atas masa depannya sendiri, menunggu kapan tiba waktunya dia mulai melupakan bagaimana caranya makan, mandi, berbicara. Siapa suami dan anak-anaknya. Bahkan dirinya sendiri. 

Ini bukan buku yang sempurna atau terbaik. Banyak sekali ketimpangan prosa di sana-sini; ada beberapa paragraf yang terasa terlalu ilmiah, seolah-olah kita sedang membaca sebuah esai kedokteran. Di sisi lain, penulis menceritakan tentang suatu hal dengan penuh metafora, hingga rasanya terlalu berlebihan. Tapi ketika kita menutup mata atas segala kekurangannya, baru kita bisa melihat betapa hebatnya buku ini. Semua karakter berkembang di waktu yang tepat - hanya saja menurut saya porsi Tom terlalu kurang - tidak ada sub-plot membingungkan, dan ceritanya mengalir dengan pas. Pilihan penulis untuk memakai sudut pandang ketiga juga sangat brilian. Benar-benar buku yang emosional dan tidak bisa dilupakan begitu saja. 

Buku ini tidak cocok dibaca kalau sedang sedih dan ingin membaca buku yang ringan dan cepat selesai. 

Saturday, August 6, 2011

Where She Went by Gayle Forman: When A Girl Breaks A Boy's Heart

This story takes time three years after Mia lost her parents and brother in a terrible accident. Three years after an unfortunate event that changed not only Mia but also Adam, her boyfriend, and also, their relationship. 
Because a moment after Mia recovered from the accident, she broke things off with Adam. 

And this is his story that he's telling. His pain. His vulnerability. His scars. His feelings. His memories. 

I once read that when a couple breaks up, one another will react differently. The girl will cry her eyeballs out for a week, a month, a year.. Grieving and mourning till she reaches the point when she feels hey, wake up, it's enough.Then she will put the widest, prettiest smile on her face and stand up and face the world. 
The guy? At first he will do nothing. Feel nothing. It's just another break-up,he may think. Every story has an end. 
But after that? The nothingness and numbness that he feels is only an act of denial. Disapproving. The pain will eat him up, alive, like a chronic cancer cell that stays for a week, a month, a year. 
Well in Adam's case, it takes no longer than three years. 

Hence, I think the title of this review should be, "When a girl breaks a boy's heart." 

Gayle Forman did such a great thing making Adam's voice believable and gripping at the same time. As we read the book we may be wondering where on Earth is Mia right now and how is she doing but Adam pat us on the head and yells, "Hey, you've listened to Mia this whole time, now you have to sit and relax and hear me out." 

We meet Adam on the night when he's supposed to rest and get ready for a long trip to London. Yes; he is a star right now, famous with his celebrity girlfriend and his striking songs, infamous with his quiet, outcast self who enjoys time in solitude rather than in most parties. That way, he somehow manages to find a banner with Mia's picture on it, with feelings of the ol' times pouring out, begging him to give this night a chance to see Mia, at least for the last time. 

And this book tells us the night when Mia and Adam reunite, keep up with the each other's news, wander in New York, and wonder what was wrong about them. 

It broke my heart everytime Adam cries. He is not weepy or pitiful; and that's why I pity him even more. When he learns that Mia was resentful of him because he was the reason why Mia stayed, that Mia had a few times hoped Adam would just let her go because living without her family was too painful, when he was the reason why Mia left, that him being protective for her made her angry, every time Adam aches when he remembers Teddy, I cried my heart out. 

This sequel is exceptional . It's hard for me to compare the two books; because there is nothing to compare, actually. Each provides us different stories, different issues, different feelings. It's amazing how Forman manages to sum up three years + a whole night in a book. There was no part when I cringed because the plot was not making sense; I enjoyed my time reading the book. I finished the book in one sitting. 

Wednesday, June 22, 2011

One Day

I've read, watched, seen, heard things about how possible it is to fall for your best-friend. Someone that you've seen all along for years in your life, but you never realized that it is him that you've been looking for, that he is the one that could've been your best lover you've ever had. Just like this book's tagline: "You can live your whole life, not realising that what you're looking for, is right in front of you."

Emma Morley had been crushing on Dexter Mayhem for some times, but never found the guts to say it. Until one day, Friday 15 July 1988, in their graduate night, they 'kind of' slept together. Dexter thinks of it as nothing serious and so does Emma, eventhough she loves Dexter she decides not to put her hopes too high.

And then we come on every 15 July in 20 years of their lives, witnessing how their friendship begin to grow, bloom, and wilt in some time, but eventually grow again in the end. How both of them realize that they have love for each other, but can't spit it out. They are too afraid; of the possibility of losing each other, of how either Emma or Dexter would react.

I love this book, and also sort of dislike it at some parts. I love how Emma is witty, smart, always come up with funny and sarcastic lines. I found Emma understandable, with her thoughts that being single doesn't equal lonely and she seems okay with it, but she still does think at some situations, how lovely it would be if you have some best-friends to talk with or a shoulder to cry on. But it doesn't mean she whines around about how suck her life without a boyfriend; she just goes around, being happy, shrugs off when people keep asking, "Where is your boyfriend?"

I don't like Dexter because he is such an arse at some times, flirting around with some chicks, getting drunk. I hate it when Emma calls their friendship an off and yet he still hasn't got a clue what is going on. But I like him in the beginning of the book when the two of them have a vacation together, he seems, hmm, romantic? And I also love him when Em and Dex start going out.

This book has such an unexpected climax, like I didn't see it coming from the first page of this book. This book seems a little bit unexaggerated after 'something' happened, like the book lost its charm. I was hoping the way this book ends could be more.. spectacular? But I think I'm okay with it. It's still an enjoyable reading for me.

Ways To Live Forever

"Namaku Sam. Umurku sebelas tahun. Aku suka mengumpulkan cerita dan fakta-fakta yang fantastis. Aku mengidap leukimia. Saat kalian membaca buku ini, kemungkinan aku sudah pergi." 

Sam adalah bocah sebelas tahun pengidap leukimia akut. Karena penyakitnya ini, dia tak bisa melakukan hal-hal yang dilakukan anak-anak lain seusianya, seperti bersekolah, bermain sepak bola, atau jalan-jalan ke mal. Hari-hari dilewatinya dengan bersekolah di rumah dengan Felix sahabatnya. 
Suatu hari dia memutuskan untuk menulis buku. Di buku ini akan tertulis hal-hal yang dia sukai, perasaannya, pertanyaannya yang tak terjawab dan yang paling penting, apa yang ingin dilakukannya sebelum meninggal. 
Sebuah buku yang simpel tapi mengena tentang kematian dan kehilangan. Membawa pesan-pesan tersirat akan kehidupan yang singkat dan serba tidak jelas, namun akan terasa lebih mudah jika dijalani dengan rasa syukur dan kasih sayang. Karakternya terasa sangat nyata dan hidup sampai-sampai saya hampir lupa bahwa ini karya fiksi. 

Ada satu frasa yang paling saya ingat di buku ini: 
"Kalian boleh saja sedih, tapi tidak boleh terlalu sedih. Kalau kalian selalu sedih waktu memikirkan aku, bagaimana kalian bisa mengingat aku?" 
Artinya, aku boleh saja pergi, kamu boleh saja sedih, but life goes on.. Dengan begitu aku akan terus hidup dalam ingatanmu..

To Kill A Mockingbird

"Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya." 
Ini adalah kutipan buku yang menyambut saya di halaman pertama buku ini. Membacanya saja sudah membuat jantung saya berhenti berapa ketukan. Deg. Menyentil sekali..

Dikisahkan oleh seorang gadis kulit putih bernama Scout, yang tinggal di Maycomb County. Di desa ini ada dua ras yang diam-diam saling berseteru, yaitu kulit putih dan kulit hitam. Orang-orang kulit putih menganggap orang berkulit hitam hanyalah kelompok kelas bawahan, yang biasanya bekerja menjadi pesuruh di rumah-rumah. Orang kulit hitam begitu takut dan "patuh" kepada kulit putih, meski diam-diam mereka ingin berontak. Kota ini disesakkan oleh prasangka, baik kepada kedua ras, maupun kepada orang yang menurut mereka tidak sesuai norma. Contohnya Boo Ridley, seorang penyendiri dan pemalu yang tak pernah keluar rumah barang sedikitpun, hingga dikira memiliki gangguan mental. Malah ternyata di akhir cerita, dia menyelamatkan seseorang yang nyaris dibunuh.

Atticus Finch, ayah Scout yang seorang pengacara ditunjuk oleh pengadilan untuk menjadi pengacara Tom Robinson, seorang kulit hitam yang dituduh memerkosa seorang gadis kulit putih. Atticus yang berkulit putih sontak dijauhi oleh orang-orang, dicemooh, disebut sebagai "Pecinta Nigger". 

Saya tidak ingin menceritakan plot utama buku ini lebih lanjut, karena kata-kata saya hanya akan merusak esensi cerita. Yang ingin saya tuangkan hanyalah lapisan-lapisan permasalahan yang bisa diangkat dan direnungkan dari buku ini.

Mengapa manusia selalu suka mengotak-ngotak dan melabelkan sesuatu? Itu pertanyaan pertama yang lewat di pikiran saya selagi saya membaca buku ini. Kenapa orang suka sekali menyebut si A berkulit putih, berhidung bangir, bermata sipit? Atau orang Cina, orang Negro, orang Kaukasia? Padahal kita pada intinya berwujud sama, manusia. Sama-sama menghirup oksigen, harus makan, minum, buang air. Mengapa harus dibedakan sebegitu rupa? Kalau hanya ada satu jenis manusia, mengapa mereka tidak bisa rukun?

Saya menemukan jawabannya: manusia senang sekali berada di atas orang lain. Lebih sederhananya, manusia senang sekali dianggap berbeda dan merasa diistimewakan. 

Ketika saya mendengar tentang buku ini, saya bertanya-tanya mengenai arti judulnya. To Kill a Mockingbird--Membunuh burung murai. Mengapa burung murai? Padahal ada banyak sekali jenis burung di dunia.
Lalu dijelaskan di dalam buku ini: burung murai adalah burung yang sangat murah hati dan bersuara indah, suka sekali bernyanyi untuk orang-orang, tanpa pernah sekalipun merusak padi atau mengambil apapun. "Kau boleh menembak burung bluejay sebanyak yang kau mau, kalau bisa kena, tetapi ingat, membunuh Mockingbird... itu dosa." Membunuh burung murai sama saja membunuh seseorang yang tidak bersalah; dia tidak berlaku apa, malah membawa keuntungan, tapi disia-siakan.

Atticus, Boo Ridley dan Tom Robinson adalah personafikasi dari burung murai. Mereka tidak bersalah, tapi nama mereka ditutupi prasangka orang lain. Atticus dengan tulus hatimemilih untuk menolong Tom yang notabene berkulit hitam, tapi aksinya ini malah menyebabkan hidupnya terancam. Kebaikan mereka seperti tubuh yang ditutupi kesalahan dan tuduhan orang lain sebagai baju zirah. Sudah tidak terlihat lagi.

Menulis post ini membuat saya teringat dengan bahan latihan Sosiologi yang tadi saya pelajari. Seorang sosiolog bernama David Berry berpendapat bahwa keliru jika kita melihat penyimpangan semata-mata karena kegagalan kita menyesuaikan diri dengan nilai dan norma yang ada di masyarakat, tapi juga karena orang ini memiliki standar nilai yang berbeda dengan standar orang lain. Singkatnya, karena pilihan. Apakah kita patut menolak pilihan orang lain? Tidak. Karena satu-satunya orang yang bertanggung-jawab atas pilihan yang ia ambil iyalah, dirinya sendiri. 


Bookswap

Below is the list of books that I'm fully willing to swap:

English:
The Lost World (Michael Crichton) - not really in a good condition
The Narrative of Arthur Gordon Pym of Nantucket (Edgar Allan Poe) - acceptable
Things I Want My Daughters To Know (Elizabeth Noble) - like new
Where I'm Calling From (Raymond Carver) - good
Love The One You're With ( Emily Giffin) - like new
War Reporting For Cowards (Chris Ayres) - good

Terjemahan:
Next (Michael Crichton) - like new
Let The Right One In (John Ajvide Lindqvist) - like new
Vanishing Acts - (Jodi Picoult) - like new
The Alison Rules (Catherine Clark) - like new
Forrest Gump (Winston Groom) - acceptable

Indonesia:
Pillow Talk (Christian Simamora) - like new
Dia (Nonier) - good
Konser (Meiliana K. Tansri) - good
Melodia (Keshia Deisra) - like new


Anyone that interested could inform me through email: sekarwuland (at) gmail (dot) com